Laman

Senin, 17 Mei 2010

25 Minutes #3

Empat hari setelah kejadian malam itu, ia menelponku.

“Ki... bisa ketemuan?? ada hal penting yang harus kubicarakan denganmu”

Hatiku bergetar. Sebuah tanda tanya besar terpampang dihadapanku. Hal penting apa yang membuatnya menelponku di tengah gelapnya malam seperti ini.

“iya... kita ketemuan di bukit tempat biasa... gak usah jemput, biar aku datang sendiri.” jawabku mengiyakan permintaannya.

Piyama biru mudaku menjadi penghangatku diperjalanan menuju bukit tempat kami sering bercengkrama. Aku hanya berjalan kaki, karena letak bukit itu tidak begitu jauh dari tempat tinggalku.

Kudapati ia ternyata telah berada disana. Dari jauh nampak wajahnya tak seperti biasanya. Ada yang tak beres sepertinya.

Perlahan aku mendekatinya yang masih belum sadar dengan kehadiranku. Ia masih duduk di atas motor bebeknya, tertunduk lemas.

Aku menyapanya dengan tanda tanya. Ia menoleh kearahku dan tersenyum tipis melihat kedatanganku lalu kami pun sibuk dengan diam kami masing-masing. Aku tak berani memulai untuk berkata. Ia yang mengajakku ke sini untuk membicarakan sesuatu, maka ialah yang seharusnya memulai pembicaraan ini.

2 menit, 3 menit, kutunggu tapi ia tak juga membuka suara. Rasa penasaran didada makin menjadi-jadi melihat kebisuannya. Akhirnya akulah yang sekali lagi mengalahkan egoku dan membuka suara menanyakan sebab kebisuannya itu.

“Ger... katanya kamu mau ngomong sesuatu. Kok daritadi cuman diem?” tanyaku penasaran.

Ia masih setia dengan kebisuan dan khayalnya sendiri. Tak menjawab sepatah katapun.

“Geeerrr.....jadi kamu nyuruh aku jauh-jauh ke sini cuman buat ngeliat kamu bengong gini??? kalo gitu aku balik!” emosiku memuncak. Aku bangkit dan berbalik hendak pergi. Tapi ditariknya lenganku.

Aku lantas menghentikan langkahku, tapi badanku tak berbalik sedikitpun menoleh kearahnya. Ia pun begitu. Tangannya masih menggenggam erat lengan kananku. Tapi kepalanya masih saja tertunduk lemas seperti tadi.

“ki.... sory..... kayaknya hubungan kita sampai disini saja”ucapnya pelan dan getir.

Saat itu hatiku bagaikan kerupuk yang dilindas oleh mesin pengaspal jalan. Bukan saja remuk dan retak, tapi hancur hampir menjadi layaknya debu. Aku tak dapat berkata apa-apa.

Kurasakan hangatnya airmata mengaliri pipiku, pipiku yang dulu pernah dicubitnya dengan gemas. Mengalir membasahi bibirku, bibirku yang dulu pernah dilumatnya dengan hangat.

Masih belum ada kalimat yang tertoreh setelah ucapannya tadi. Aku masih setia dalam kebisuan yang tadi kepunyaannya. Hatiku terlalu hancur mendengar kalimatnya tadi, hingga sepatah katapun terlalu berat untuk meluncur dari bibirku.

“Ki....aku minta maaf” ucapnya lagi, berharap akan ada sepatah kata yang terucap dari bibirku.

Aku masih membelakanginya. “Kenapa ger?? salahku apa?” tanyaku datar.

“kamu gak salah apa-apa. Aku yang salah.”

ditariknya tubuhku untuk menghadap ke arahnya. Aku masih belum berani menatapnya. Aku tak ingin ia melihat airmataku, aku tak pernah inginkan itu. Aku tak mau terlihat seperti wanita bodoh yang menangisi lelaki yang telah mengambil kesucianku.

“please... ngertiin aku.. aku sayang kamu ki... sungguh! Tapi aku tak bisa terus melanjutkan hubungan kita... aku tahu bagaimana beratnya perasaanmu, dan percayalah aku juga merasakan hal yang sama.” jelasnya.

Aku terus menundukkan kepalaku, karna airmata ini semakin deras mengalir, kugigit lidahku agar aku tak mengeluarkan suara, agar ia tak mendengar tangisku. Tapi ternyata ia menyadarinya. Diangkatnya wajahku dan dihapusnya airmataku.

“please.... jangan nangis ki.... air matamu terlalu berharga untukku. Aku tak mau lihat itu!”

“kau bodoh... bagaimana bisa kau menyuruhku untuk tidak menangis karenamu?” ucapku emosi.

Lalu kemudian dipeluknya aku dengan erat. Aku dapat merasakan desahan nafasnya di telingaku. Aku tak ingin melepaskan pelukan ini. Tak akan pernah ingin melepaskannya. Tapi ia melepasnya.

Kulihat ia merogoh tas selempang yang sejak tadi ia kenakan. Mengambil sesuatu. Mungkinkah ia akan memberikanku novel “new moon” karya Stephenie Meyer yang pernah ia janjikan padaku itu dan kemudian menarik kembali perkataannya untuk berpisah tadi? Atau mungkinkah ia akan memberiku sekotak coklat untuk membujukku agar tidak menangis, seperti yang pernah ia lakukan saat pemakaman ibuku dulu?

Tapi rupanya aku salah besar. Ia mengeluarkan selembar undangan berwarna merah, berlapis plastik transparan. Ia menyodorkannya ke arahku. Ku baca disudut kiri bawahnya, “Gerald & Andrea”.

“Besok lusa. Aku sangat mengharapkan kedatanganmu” ucapnya seraya menyodorkan undangan merah itu.

Tanganku bergetar menerima undangan itu. Kuremas untuk melampiaskan emosi dan sakit hati didada. Lututku lemas. Aku benar-benar tak tahan untuk berdiri lebih lama lagi dihadapan pria sadis ini. Ia telah dengan tega memutilasi hatiku setelah ia rajam dengan pisau penghianatan berupa undangan merah yang bak sampah dimataku. Aku berlari pulang tanpa mengacuhkannya yang berteriak memanggilku setelah ia sakitiku seperti ini. Aku bukan wanita murahan yang dengan rela berbalik arah kepadamu setelah kau bunuh hati ini.

Aku terus berlari menuju rumahku. Kali ini kurasakan jarak ke rumahku menjadi berlipat-lipat kali lebih jauh dari biasanya. Air mataku masih saja menghiasi pipi, bahkan makin deras ia mengalir. Berpuluh-puluh pasang mata menatap heran padaku, aku tak perduli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar