Laman

Minggu, 23 Mei 2010

25 Minutes #4

Hari pertama setelah kejadian itu aku berharap ia akan menelponku dan menjelaskan alasan sebenarnya. Tapi tidak juga ia lakukan itu.

Air mataku masih saja belum bisa berhenti mengalir. Kalau saja air mata ini ditampung, mungkin banyaknya sudah seperti kolam ikan dibelakang rumahku.

Aku merebahkan tubuhku di kasur yang berserakan tisue-tisue yang basah oleh air mata dan ingusku. Tak sengaja mataku menghampiri sebuah novel tebal bersampul hitam bertuliskan “twilight” oleh Stephenie Meyer. Sekelebat memori tentang lelaki sadis itu pun kembali menyeruak di dalam otak.

Saat itu Anniversary kami yang ke-4, sebulan yang lalu. Ia menghadiahiku novel itu. Dan aku menghadiahinya sebuah asbak berlogokan “Manchaster United” club sepak bola favoritnya.

“aku tahu kamu lagi nyari novel ini kan?? disini emang blum available. Aku sengaja pesan lewat on-line shop. Aku juga udah booked yang “new moon” buat kamu. Katanya bulan depan kalau sudah terbit mereka langsung kabarin aku, dan aku langsung kasih ke kamu.” ucapnya menggebu-gebu.

“iya... makasiih!” jawabku seadanya.

Janji itu belum ia tepati hingga kini, bahkan mungkin ia telah melupakan janji itu semenit setelah ia mengucapkannya.

Mengingat memori itu membuat air mata ini mengalir lagi. Ia benar-benar mampu menguras air mataku. Sedang ia disana mungkin tengah sibuk-sibuknya mengurus penikahan sampahnya itu. Pasti tak sedikitpun dibenaknya terlintas diriku disini yang menangis karenanya.

Esok paginya ia menelponku. Telponya yang pertama, tak ku angkat. Telponnya yang kedua juga tak ku angkat, hingga telponnya yang kelima kalinya aku baru bisa menetapkan hatiku untuk mengangkatnya.

Ia memintaku untuk menemuinya pagi ini di sebuah kedai kopi, kedai kopi yang sebenarnya jarang ia kunjungi.

Hatiku ingin sekali menjerit dan berteriak “aku akan kesitu...” tapi rupanya hati ini dikalahkan oleh ego dan tingginya harga diri -aku menolak ajakannya.

“Aku akan terus menunggu disini sampai pukul 5 sore ini, kalau-kalau kau berubah pikiran, datanglah... Aku memakai baju warna biru.” katanya berharap aku kan mengubah pikiranku.

“terserah... sampai kapan pun kau menungguku di situ, aku tak akan pernah datang. Bukannya malam itu kau telah membuangku? Dan asal kau tahu, sejak saat itu aku telah membunuh perasaanku padamu.” ungkapku tegas dan langsung menutup sambungan telponku, walau sebenarnya hati ini tercabik, berdarah, dan bernanah karena ucapku itu.

Aku terus memandangi jam dindingku. Pukul 13.00. sudah lebih 4 jam dari saat ia menelponku tadi. Aku masih punya waktu 4 jam lagi dari sekarang untuk mengubah fikiranku. Siapa tahu ia akan menjelaskan semua yang terjadi padaku, atau Siapa tahu ia bermaksud menarik ucapannya dan kembali bersamaku? Tapi bagaimana dengan pernikahannya yang tinggal esok pagi? Aku tidak akan berani melukai keluarga besarnya dan keluarga besar Andrea yang telah susah payah membuat pesta pernikahan itu. Aku tidak boleh bersikap egois. Biarlah sakit ini kurasa seorang diri di sini. Dan akhirnya aku tetap pada pendirianku untuk tetap bertahan dalam luka. Tak melihatnya lagi mungkin akan menjadi penawar sakit hatiku.

Di antara jam-jam terberat itu ada perdebatan antara kelemahan hatiku melawan kerasnya ego dan harga diriku. Hati ini terus saja menarik-narikku untuk pergi menemui lelaki itu, tapi ragaku tertahankan oleh ego, aku bukan wanita lemah, aku tak boleh menemuinya.

5 menit sebelum pukul 17.00 akhirnya aku dapat berkompromi dengan egoku, hati dan perasaan ini tidak dapat lebih lama lagi kubohongi. Aku ingin bertemu dengannya. Dengan langkah cepat kuambil kunci mobil yang terletak di atas meja televisi. Ku tancapkan gas menuju kedai kopi itu, perjalanan yang lumayan jauh, aku tak yakin dapat bertemu dengannya namun aku tetap menancapkan gasku sekencang yang ku bisa.

Pukul 17.20 aku sampai di kedai kopi tempatnya menungguku, aku terlambat 20 menit. Smoga ia masih disini. Hari sudah sore, tapi kedai kopi ini masih saja ramai. Aku memanjangkan leher mencari-cari lelaki berbaju biru diantara tubuh-tubuh para bapak-bapak pejabat yang menghabiskan waktu luangnya dengan bercengkrama dengan rekannya ditemani segelas kopi hangat itu.

Aku belum jga menemukan sosoknya. Seorang waiters menghampiriku.

“Ada yang bisa saya bantu, mbak?” tanyanya ramah.

“saya mencari teman saya, ia berada disini sejak tadi pagi, kira-kira sejak pukul 9 tadi, apa mbak tahu keberadaannya sekarang?” tanyaku cemas.

“Oowh... lelaki berambut jabrik, tinggi, putih, dan memakai baju berwarna biru itu?”

“iya..iya...dmana dia?”

“Aduh... tapi kayaknya mbak terlambat. Dia sudah pergi sekitar 25 menit yang lalu.” jawabnya sambil melihat ke arah jam tangan putih yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kirinya.

Aku terlambat. Aku tak punya kesempatan lagi.

Dan akhirnya akupun pulang. Pulang untuk menjatuhkan air mata lagi. Pulang untuk bertekad melupakannya. Pulang untuk menghapus sgala memori tentangnya.dan pulang untuk membuang sgala perkataannya yang slama ini melekat di hati.

Sampaiku dirumah, aku langsung merebahkan tubuhku di atas spring bed yang tertutupi seprei berwarna abu-abu itu. Kamarku masih saja berantakan, membuatku semakin pusing melihatnya. Akupun bangkit dari rebahanku, kupunguti satu per satu tisue-tisue yang berserakan di lantai maupun di atas tempat tidurku dan kemudian kubuang ketempat sampah yang juga berwarna abu-abu di sudut kamarku. Tak sengaja mataku bertabrakan dengan sebuah kertas merah didalam tempat sampahku. Aku tahu itu adalah undangan Gerald dan Andrea yang kubuang malam itu. Ku pungut. Kubuka plastik transparan yang membungkus undangan itu, Aku belum sempat membacanya sejak Gerald memberikannya padaku malam itu. Aku tahu ini kan menyakitkanku lagi, tapi aku tetap harus membukanya.

Kubuka undangan itu dengan hati bergetar. Disisi kirinya terdapat foto Lelaki biadab itu tengah berpegangan tangan dengan wanita bersepatu kaca itu dengan sangat mesra. Sekali lagi untuk kesekian kalinya air mataku tumpah ruah.

Aku terduduk tertunduk lemas di depan tempat sampahku memandangi undangan itu. Warna merahnya seolah menggambarkan merahnya hatiku yang terluka karena pernikahan itu, duri gambar mawar yang terukir dipojok kanan undangan itu seolah menusuk hatiku lebih dalam lagi.

Dengan sekuat tenaga kucoba untuk membacanya. “Selasa, 20 April 2010 pukul 19.00”.

'besok malam?? ia akan melangsungkan pernikahannya dengan wanita lain besok malam? Padahal seminggu yang lalu ia bersetubuh denganku.' ucapku dalam hati. Aku masih saja belum bisa menerima kenyataan ini.

Tak lama kemudian Handphoneku berbunyi. Dengan susah payah kuraih handphoneku yang kuletakkan di atas meja kerjaku.

“kiki?” suara wanita diseberang terdengar sangat cemas.

“iya, na!” jawabku. Ia adalah Helena. Sahabat baikku sejak pertama kali masuk kuliah.

“are you okay?” tanyanya memastikan. Sepertinya ia telah mendengar tentang pernikahan itu.

“I'm not okay, na.... aku yakin kamu sudah tahu tentang pernikahan itu.”

“ia... aku dengar dari temen-temen kampus. Sejak kemarin aku mencarimu tapi rupanya kau tidak ke kampus. Sejak kapan kau mengetahui rencana pernikahannya ini, ki?”

“2 hari yang lalu, na... dia mengakhiri hubungan kami dan langsung menyerahkan undangan pernikahannya itu. Aku rapuh, na.”

“Tenang ki... dalam 15 menit aku akan sampai di rumahmu.” ucapnya kemudian memutuskan sambungan telponnya.

Belum sampai 15 menit setelah telponnya di tutup, seseorang mengetuk pintu kamarku. Ku buka dan benarlah ia adalah Helena. Ia mengenakan rok mini jeans dan t-shirt pinknya, membawa 2 kantongan plastik bertuliskan 2 nama toko baju favorite kami.

Dibukanya kantongan pertama, terlihat mini dress hitam yang glamour. Dan dilemparkannya padaku.

“untuk apa ini, na?” tanyaku heran. Sahabatnya lagi bersedih dia malah asik-asikan memamerkan hasil belanjaannya.

“pokoknya besok malam kau ikut denganku ke resepsi pernikahan lelaki bejat itu!”

“kau gila, na?? apa kata orang-orang nanti? Aku bakalan jadi bahan tertawaan mereka!” tolakku.

“Tidak, ki!!! justru mereka akan lebih mentertawakanmu kalau kau hanya diam saja dikamarmu yang sudah seperti kandang kambing ini, menangis meratapi nasibmu dan sadisnya perlakuan Gerald terhadapmu. Kau harus bangkit ki.... kau harus memperlihatkan sama semua orang kalau kau bukan wanita lemah. Pokoknya kau harus memperlihatkan sama si Kanibal hati itu kalau dia salah besar telah meninggalkanmu demi perempuan itu.”

Aku terkejut mendengar perkataan Helena barusan. Ada benarnya juga ucapan wanita centil ini.

“...” aku hanya bisa diam.

“hooy non...kok diam aja???” ditepuknya pundak kiriku untuk menyadarkanku dari lamunku. Ditariknya lenganku menuju cermin besar di pojok kamarku. “coba kau lihat mukamu! Mata sembab dan bengkak gini karena apa coba?? karena kau tidak bosan-bosannya mengasihani diri sendiri dengan mengurung diri dikamar dan nangis sejadi-jadinya. Buang-buang tenaga, buang-buang tisue!” celotehnya. Namun dalam hati aku membenarkan perkataannya. “Look at you ki! Kau cantik! Tidak ada alasan untuk kau tidak menghadiri pernikahan bangsat itu! Would you like to go with me?”

Entah mengapa kepalaku mengangguk sendiri tanpa meminta respon ke hati terlebih dahulu. Bibir Helena langsung mengembang menyambut anggukkanku.

“Okeh kalau begitu. Besok aku jemput jam setengah 7. Ingat, Tidak ada alasan untuk berubah keputusan!! Aku balik ya ki...” ucapnya tegas dan berlalu keluar meninggalkan kamarku.

Helena memang selalu seperti itu. Datang sebelum diundang dan pergi sebelum di usir.

Sebenarnya aku masih belum terlalu yakin akan keputusanku menghadiri pernikahan itu. Membayangkan rasanya saja aku ingin menangis. Tapi apa yang diucapkan Helena ada benarnya juga.


to be continue...

Senin, 17 Mei 2010

25 Minutes #3

Empat hari setelah kejadian malam itu, ia menelponku.

“Ki... bisa ketemuan?? ada hal penting yang harus kubicarakan denganmu”

Hatiku bergetar. Sebuah tanda tanya besar terpampang dihadapanku. Hal penting apa yang membuatnya menelponku di tengah gelapnya malam seperti ini.

“iya... kita ketemuan di bukit tempat biasa... gak usah jemput, biar aku datang sendiri.” jawabku mengiyakan permintaannya.

Piyama biru mudaku menjadi penghangatku diperjalanan menuju bukit tempat kami sering bercengkrama. Aku hanya berjalan kaki, karena letak bukit itu tidak begitu jauh dari tempat tinggalku.

Kudapati ia ternyata telah berada disana. Dari jauh nampak wajahnya tak seperti biasanya. Ada yang tak beres sepertinya.

Perlahan aku mendekatinya yang masih belum sadar dengan kehadiranku. Ia masih duduk di atas motor bebeknya, tertunduk lemas.

Aku menyapanya dengan tanda tanya. Ia menoleh kearahku dan tersenyum tipis melihat kedatanganku lalu kami pun sibuk dengan diam kami masing-masing. Aku tak berani memulai untuk berkata. Ia yang mengajakku ke sini untuk membicarakan sesuatu, maka ialah yang seharusnya memulai pembicaraan ini.

2 menit, 3 menit, kutunggu tapi ia tak juga membuka suara. Rasa penasaran didada makin menjadi-jadi melihat kebisuannya. Akhirnya akulah yang sekali lagi mengalahkan egoku dan membuka suara menanyakan sebab kebisuannya itu.

“Ger... katanya kamu mau ngomong sesuatu. Kok daritadi cuman diem?” tanyaku penasaran.

Ia masih setia dengan kebisuan dan khayalnya sendiri. Tak menjawab sepatah katapun.

“Geeerrr.....jadi kamu nyuruh aku jauh-jauh ke sini cuman buat ngeliat kamu bengong gini??? kalo gitu aku balik!” emosiku memuncak. Aku bangkit dan berbalik hendak pergi. Tapi ditariknya lenganku.

Aku lantas menghentikan langkahku, tapi badanku tak berbalik sedikitpun menoleh kearahnya. Ia pun begitu. Tangannya masih menggenggam erat lengan kananku. Tapi kepalanya masih saja tertunduk lemas seperti tadi.

“ki.... sory..... kayaknya hubungan kita sampai disini saja”ucapnya pelan dan getir.

Saat itu hatiku bagaikan kerupuk yang dilindas oleh mesin pengaspal jalan. Bukan saja remuk dan retak, tapi hancur hampir menjadi layaknya debu. Aku tak dapat berkata apa-apa.

Kurasakan hangatnya airmata mengaliri pipiku, pipiku yang dulu pernah dicubitnya dengan gemas. Mengalir membasahi bibirku, bibirku yang dulu pernah dilumatnya dengan hangat.

Masih belum ada kalimat yang tertoreh setelah ucapannya tadi. Aku masih setia dalam kebisuan yang tadi kepunyaannya. Hatiku terlalu hancur mendengar kalimatnya tadi, hingga sepatah katapun terlalu berat untuk meluncur dari bibirku.

“Ki....aku minta maaf” ucapnya lagi, berharap akan ada sepatah kata yang terucap dari bibirku.

Aku masih membelakanginya. “Kenapa ger?? salahku apa?” tanyaku datar.

“kamu gak salah apa-apa. Aku yang salah.”

ditariknya tubuhku untuk menghadap ke arahnya. Aku masih belum berani menatapnya. Aku tak ingin ia melihat airmataku, aku tak pernah inginkan itu. Aku tak mau terlihat seperti wanita bodoh yang menangisi lelaki yang telah mengambil kesucianku.

“please... ngertiin aku.. aku sayang kamu ki... sungguh! Tapi aku tak bisa terus melanjutkan hubungan kita... aku tahu bagaimana beratnya perasaanmu, dan percayalah aku juga merasakan hal yang sama.” jelasnya.

Aku terus menundukkan kepalaku, karna airmata ini semakin deras mengalir, kugigit lidahku agar aku tak mengeluarkan suara, agar ia tak mendengar tangisku. Tapi ternyata ia menyadarinya. Diangkatnya wajahku dan dihapusnya airmataku.

“please.... jangan nangis ki.... air matamu terlalu berharga untukku. Aku tak mau lihat itu!”

“kau bodoh... bagaimana bisa kau menyuruhku untuk tidak menangis karenamu?” ucapku emosi.

Lalu kemudian dipeluknya aku dengan erat. Aku dapat merasakan desahan nafasnya di telingaku. Aku tak ingin melepaskan pelukan ini. Tak akan pernah ingin melepaskannya. Tapi ia melepasnya.

Kulihat ia merogoh tas selempang yang sejak tadi ia kenakan. Mengambil sesuatu. Mungkinkah ia akan memberikanku novel “new moon” karya Stephenie Meyer yang pernah ia janjikan padaku itu dan kemudian menarik kembali perkataannya untuk berpisah tadi? Atau mungkinkah ia akan memberiku sekotak coklat untuk membujukku agar tidak menangis, seperti yang pernah ia lakukan saat pemakaman ibuku dulu?

Tapi rupanya aku salah besar. Ia mengeluarkan selembar undangan berwarna merah, berlapis plastik transparan. Ia menyodorkannya ke arahku. Ku baca disudut kiri bawahnya, “Gerald & Andrea”.

“Besok lusa. Aku sangat mengharapkan kedatanganmu” ucapnya seraya menyodorkan undangan merah itu.

Tanganku bergetar menerima undangan itu. Kuremas untuk melampiaskan emosi dan sakit hati didada. Lututku lemas. Aku benar-benar tak tahan untuk berdiri lebih lama lagi dihadapan pria sadis ini. Ia telah dengan tega memutilasi hatiku setelah ia rajam dengan pisau penghianatan berupa undangan merah yang bak sampah dimataku. Aku berlari pulang tanpa mengacuhkannya yang berteriak memanggilku setelah ia sakitiku seperti ini. Aku bukan wanita murahan yang dengan rela berbalik arah kepadamu setelah kau bunuh hati ini.

Aku terus berlari menuju rumahku. Kali ini kurasakan jarak ke rumahku menjadi berlipat-lipat kali lebih jauh dari biasanya. Air mataku masih saja menghiasi pipi, bahkan makin deras ia mengalir. Berpuluh-puluh pasang mata menatap heran padaku, aku tak perduli.

Minggu, 02 Mei 2010

25 Minutes #2

tersebutlah ia, Gerald. Lelaki yang paling kusayangi setelah ayah dan ketiga kakakku. Ia mengisi hampir separuh usiaku. Sahabatku sejak kami masih belia, dan menjadi kekasihku saat kami remaja, bahkan hingga ku dewasa.

Seminggu sebelum pernikahan tiba-tibanya dengan wanita bersepatu kaca itu -begitu aku menyebutnya, ia pernah mengucapkan satu kalimat yang takkan pernah akan ku lupa.

Saat itu aku belum tahu apa-apa dengan rencana pernikahan itu. Kami duduk berdua di bukit tak jauh dari rumahku. Hijau rerumputan yang mengenai kaki kami tak lagi terasa gatal. Angin ini pun seolah menggambarkan kegembiraanku bertemu dengannya.

Ia menatapku dengan tatapan kosong. Aku tak cukup pandai untuk menterjemahkan arti tatapannya itu.

“ki... apa kamu masih akan tetap menyayangiku saat ku ada di jalan yang salah nantinya?” tanyanya.

“ngomong apa sih ger?”

“ng...ngga...ngga kenapa-kenapa kok...aku cuman pengen bilang, kalo aku akan selalu mencintaimu dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Apa kau juga begitu?”

“.....” aku hanya terdiam mendengar ucapannya barusan.

“kok diam??aku butuh jawabanmu,ki!”

“aku rasa aku gak perlu menjawabnya, karena aku tahu kamu tahu apa yang kurasa saat ini. Toh kamu sendiri tahu kalau buatku perasaan itu untuk dirasakan bukan untuk diumbar dengan kata-kata.” jawabku sok diplomatis.

Angin yang berhembus meniup rambut kita membuat badan terasa kaku dan beku. Ia menatapku sekali lagi. Tak berapa lama akhirnya ia melumat bibirku dengan lembut. Tangannya pun menjalar ke tengkukku kemudian dadaku. Dan kami tak terelakkan untuk jatuh kedalam percintaan hangat dan membara itu lagi. Untuk kesekian kalinya.

Setiap kali melakukannya ada rasa bersalah yang teramat sangat. Tapi disisi lain aku juga tak dapat menolak kehangatan yang ia tawarkan.

Malam itu aku terbang melayang dibuatnya. Sepenuh hati ku yankinkan diriku hanya untuknya.

Hubungan kami telah terjalin begitu lama. Gerald telah mengenal kedua orang tuaku dengan sangat baik. Begitupun denganku. Aku sangat berharap kelak kami akan menjadi keluarga kecil yang bahagia.

.... to be continue .....

Sabtu, 01 Mei 2010

25 Minutes #1

Aku tak dapat menafikkan bahwa wajahku pucat pasi melihat kejadian di hadapanku. Hatiku bagaikan daging ham dimulut baunya, digigitnya hatiku, dikunyahnya aku hingga lumat....lalu ditelannya sesuka hatinya.

Aku tak ada bedanya dengan seekor keledai ditengah kumpulan kuda pacuan, tak berarti apa-apa kecuali sebagai bahan tertawaan mereka. Bibirku kelu, kaku, beku, atau apalah itu namanya. Aku tak sanggup lagi berkata. Lututku lemas. Pipiku memerah seolah habis tertampar tangan lentik wanita yang bersanding dengannya itu. Aku rapuh berada disini.

Aku masih berdiri disini berharap ia kan berbalik menoleh ke arahku dan berlari mengejarku. Tapi itu hanyalah kejadian yang berada dalam ruang imajinasiku saja. Pada kenyataannya aku hanya dapat mematung disini melihatnya tersenyum bahagia dengan wanita itu. Wanita yang jauh lebih sempurna dariku. Wanita yang banyak didambakan lelaki-lelaki yang ada.

Ada sesal yang menyertai kehadiranku malam ini. Betapa bodohnya aku datang kepernikahan mantan pacarku, atau lebih tepatnya (masih) pacarku. Aku hanya akan menambah luka baru dalam hatiku padahal lukanya yang dulu bahkan belum sembuh. Perih.

Berulang kali ku coba memutar fikirku guna meluruskan hatiku. Berulang kali kucoba berkata bahwa semua ini hanyalah mimpi. Tapi berulang kali juga kutersakiti karena tersadar bahwa semua ini nyata adanya.


.... to be continue....